Sabtu, 24 Desember 2011

makalah Biogegrafi Fragmentasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
          Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragment- fragment (patches) habitat yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari fragment habitat yang satu ke yang lainnya. Fragmentasi hutan terjadi jika hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok lebih kecil karena pembangunan jalan, pertainan, urbanisasi atau pembangunan lain. Fragmentasi menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar (Rusak & Dobson, 2007). Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967), dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002).
          Fragmentasi penting mendapat perhatian, karena berpengaruh pada kekayaan spesies, dinamika populasi, dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Morrison et al., 1992). Semakin nyatanya bukti bahwa fragmentasi habitat merugikan bagi banyak spesies dan dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati regional dan global (Harris, 1984; Saunders et al.,1991) telah memberikan pembenaran empiris perlunya mengelola lanskap secara menyeluruh, tidak hanya mengelola komponen- komponennya secara parsial. Ada dua komponen struktur lanskap, yaitu komposisi dan konfigurasi (Turner, 1989; Dunning et al., 1992).
          Berkembangnya ilmu ekologi lanskap, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran organisme, telah memberikan dasar konsepsi dan teori yang kuat untuk memahami struktur, fungsi, dan perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986; Turner, 1989; Urban et al., 1987). Seiring dengan itu, perkembangan teknologi GIS (Geographical Information Systems) menyediakan berbagai metode analisis untuk pengelolaan lanskap. Meningkatnya perhatian pada kepunahan keanekaragaman hayati telah mendorong para pengelola lahan untuk mencari cara terbaik untuk mengelola lanskap pada berbagai skala spasial dan temporal.
          Para ahli ekologi satwaliar menjadi semakin menyadari bahwa variasi habitat dan pengaruhnya pada proses-proses ekologi dan populasi satwa vertebrata terjadi pada banyak skala spasial (Wiens, 1989). Hal ini telah meningkatkan perhatian pada pentingnya pola-pola habitat bagi populasi satwaliar dan penelitian ekologi lanskap untuk mempelajari penyebaran dan dinamika populasi dalam skala spasial yang lebih luas. Skala lanskap tergantung pada skala pergerakan dan asosiasi habitat dari organisme yang sedang diteliti. Kerusakan hutan di seluruh dunia merupakan faktor utama perubahan struktur lanskap. Kedua komponen lanskap dipengaruhi oleh penggundulan hutan. Komposisi lanskap berubah seiring hutan ditebang dan digantikan oleh tanaman pertanian atau untuk penggunaan lain. Konfigurasi berubah seiring dengan hutan yang tersisa terfragmentasi menjadi beberapa fragment (patches) hutan yang lebih kecil.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang di maksud dengan fragmentasi
2.    Sebutkan Komposisi komunitas dan keanekaragaman pada fragmentasi ?
3.    Apa yang di maksud dengan Skala dan pola fragmentasi ?
4.    Apa yang di maksud dengan Fragmentasi Habitat Dan Biologi Konservasi ?
5.    Apa yang menyebabkan  Fragmentasi Habitat ?
6.    Apa  Dampak Dari Aktifitas Manusia terhadap fragmentasi habitat ?
C.  Tujuan
1.    Dapat mengetahui pengerian fragmentasi.
2.    Dapat menyebutkan komposisi komunitas dan keanekaragaman pada fragmentasi.
3.    Dapat mengetahui skala dan pola fragmentasi.
4.    Dapat mengetahui fragmentasi habitat dan biologi konservasi.
5.    Dapat mengetahui penyebab fragmentasi habitat.
6.    Dapat mengetahui dampak dari aktifitas manusia terhadap fragmentasi habitat.

BAB II
PEMBAHASAN

1.1.       Pengertian Fragmentasi
          Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe land use menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil. Fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong- kantong (patches) habitat asli, karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada (Wiens, 1989a). Proses fragmentasi telah terjadi pada
hutan alam lahan kering (dataran rendah dan pegunungan ).
          Fragmentasi Habitat adalah sebuah proses perubahan lingkungan yang berperan penting dalam evolusi dan biologi konservasi. Sebagaimana yang tersirat pada namanya, ia mendeskripsikan kemunculan fragmentasi lingkungan pada habitat suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan secara cepat. Proses fragmentasi habitat secara alami diduga merupakan salah satu sebab utama spesiasi, sedangkan proses fragmentasi habitat oleh manusia menyebabkan kepunahan banyak spesies.
          Fragmentasi juga merupakan proses yang sangat menekan keanekaragaman hayati. Proses ini mengurangi tutupan hutan. Fragmentasi memiliki pengaruh yang negatif terhadap banyak jenis tumbuhan dan hewan, serta terhadap proses ekologis. Semakin kecil blok terfragmentasi akan semakin berkurang kepadatan populasi dan akan meningkatkan resiko kepunahan. Setelah kepunahan,peluang terjadinya rekolonisasi tergantung pada jarak blok tersebut dengan blok inti serta tergantung pada kualitas habitat disekelilingnya. Jenis yang sensitif terhadap efek tepi (jenis interior) dapat berkurang kelimpahannya. Fragmentasi mengakibatkan hal yang berbeda pada jenis yang berbeda, pada jenis yang sama pun ada kemungkinan berbeda tergantung pada musim. Pada bagian tepi, tingkah laku jenis pun berbeda. Pada beberapa jenis, bagian tepi merupakan habitat yang sangat sesuai, sedangkan jenis lain menghindari bagian ini. Predasi terhadap sarang sangat tinggi pada bagian tepi ini.
1.2.       Komposisi Komunitas Dan Keanekaragaman Pada Fragmentasi
          Hutan yang kecil memiliki jenis yang lebih sedikit dan umumnya jenis generalis. Jumlah jenis spesialis akan meningkat seiring dengan semakin luasnya hutan. Lebih dari 66-72% jenis sangat terpengaruh oleh variabel habitat. Sebagai contoh, burung akan berkembang biak pada interior hutan dan menjalani musim dingin pada daerah tropis merupakan pengaruh dari fragmentasi habitatnya.
          Efek area tergantung dari habitat tetangganya. Pada kenyataannya, jika terdapat habitat yang seusai di sekelilingnya lokasi ini bisa digunakan oleh beberapa jenis, namun jika fragmen ini terpisah oleh lahan pertanian akan berdampak negatif terhadap kehadiran jenis. Isolasi setelah penebangan atau lahan pertanian menggunakan peranan penting yang dimainkan oleh vegetasi di sekelilingnya. Daerah yang dikelilingi oleh Vismia, vegetasi dominan pada hutan setelah terbakar dan peternakan sapi, merupakan lebih terisolasi bagi burung jika dibandingkan dengan plot yang dikelilingi oleh Cecropia, vegetasi yang terdapat pada hutan setelah penebangan tetapi tidak dibakar. Hutan hujan tropis menutupi kurang dari 7% planet ini namun mendukung setengah sampai dua pertiga tanaman dan hewan. Jarak efek, ukuran fragmen, efek tepi dan perubahan biotik merupakan isu yang penting dalam lansekap hutan hujan tropis; 80m letak hutan sudah cukup menjadi penghalang bagi mamalia, serangga dan burung understorey yang hidup pada sebuah fragmentasi.
Ø Jenis, guild dan fragmentasi
          Beberapa jenis organisme merupakan sensitif terhadap ukuran habitat. Pada burung oven dan Kentucky warblers terjadinya penurunan jumlah populasi yang diakibatkan oleh fragmentasi. Efek fragmentasi hutan tropis juga telah dikaji pada komunitas kumbang kotoran dan kumbang bangkai. Fragmen memiliki jenis yang lebih sedikit, lebih jarang dan lebih tersebar. Hal ini dibuktikan dengan perbandingan antara 1 Ha hutan dengan hutan yang tidak terganggu. Pergerakan kumbang terhenti oleh pembersihan lahan, dan hanya setelah pertumbuhan sekunder baru beberapa kumbang dapat bergerak di dalam fragmen, walaupun hanya beberapa meter. Kemungkinan iklim mikro dan pengeringan pinggiran habitat, menciptakan kondisi penghalang bagi kumbang understorey hutan.
          Peranan kumbang kotoran dan kumbang bangkai sebagai penghancur larva nematoda dan parasit gastroinestinal lainnya, merupakan hal yang sangat penting bagi kontrol penyakit. Dengan meningkatnya fragmentasi hutan tropis akan berkonsekuensi terhadap meningkatnya penyakit hewan vertebrata. Efek fragmentasi berbeda jika dikaji pada skala satu jenis atau kelompok organisme. Sebagai contoh pada hutan Eucalyptus di Australia, kalajengking Cercophonius squama dan amphipoda suku Tallitridae memberikan respon yang berbeda terhadap fragmentasi. Kalajengking tidak mengalami perubahan yang berarti namun pada amphipoda mengalami penurunan populasi setelah fragmentasi. Hal ini dimungkinkan kalajengking menggunakan tingkah laku fossorial selama musim kering. Hal ini tidak terjadi pada amphipoda yang sangat sensitif terhadap iklim mikro.
1.3.       Skala Dan Pola Fragmentasi
          Fragmentasi adalah proses yang ketergantungan skala. Vegetasi yang terfragmentasi dapat memiliki susunan spasial yang berbeda, mengakibatkan efek yang berbeda pada proses ekologis. Untuk menggambarkan pemencaran dari fragmen pada sebuah area, akan sangat penting jika mempertimbangkan atribut-atributnnya seperti kepadatan, isolasi, ukuran, bentuk, agregat dan karakteristik perbatasannya. Efek fragmentasi pada organisme tergantung pada skala persepsi spesifik masing-masing jenis apakah jenis itu termasuk generalis atau spesialis. Jenis yang generalis kurang terpengaruh oleh fragmentasi dibandingkan jenis spesialis.
          Menurut Franklin (2002) dan Fahrig (2003), fragmentasi bekerja dalam empat cara, yaitu: (1) habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil, (3) pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil tanpa kehilangan habitat, dan      (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patches lebih kecil serta penurunan kualitas habitat.
Fragmentasi akan meningkatkan kerawanan terhadap gangguan eksternal, misalnya gangguan badai dan kekeringan. Skala fragmentasi memiliki dampak langsung terhadap organisme. Fragmen yang besar akan memelihara jenis dengan lebih baik, sedangkan fragmen yang kecil hanya untuk sedikit jenis dan biasanya jenis yang generalis. Jadi, jenis yang spesialis akan tersingkir dari fragmen yang kecil. Itulah alasannya kenapa fragmentasi akan berdampak yang sangat besar pada daerah topis yang memiliki lebih banyak jenis spesialis dibandingkan dengan daerah temperata.
          Fragmentasi dapat diamati pada berbagai skala, dan celah karena tumbangnya pohon merupakan faktor penting dalam meningkatkan heterogenitas dan fragmentasi. Celah pohon tumbang dapat dianggap sebagai habitat yang berbeda pada suatu hutan, berbeda pada struktur vegetasi (misalnya kepadatan daun, ukuran pohon dan distribusi), komposisi jenis tumbuhan, kelimpahan sumber dan kondisi iklim mikro. Burung merupakan yang paling sensitif terhadap sedikit perubahan yang terjadi, khususnya dalam memilih lokasi makan. Pada kenyataannya celah pohon tumbang memiliki sumber yang melimpah tergantung pada ukuran dan umur celah dan jalur di sekeliling hutan. Pada musim semi, burung migran banyak tertarik pada celah ini karena sumber makanan lebih melimpah.
1.4.       Fragmentasi Habitat Dan Biologi Konservasi
          Fragmentasi habitat merupakan bagian dari biologi konservasi. Secara pengertian biologi konservasi berarti Ilmu yang bertujuan untuk mengatasi krisis biodiversitas (Keanekaragaman Hayati), yaitu penurunan keragaman kehidupan di bumi yang saat ini berjalan sangat cepat. Sedangkan Fragmentasi habitat ialah proses perubahan lingkungan yang berperan penting dalam ekologi dan konservasi pada tempat tinggal makhluk hidup dan berkembang biak. Maka dapat disimpulkan jika Fragmentasi ialah proses dari perubahan lingkungan dan biologi konservasi adalah bagian dari cara mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh fragmentasi itu sendiri. Berikut contoh kasus dari fragmentasi habitat: Sebagian kawasan hutan di negara berkembang terutama di daerah tropis mengalami perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan, pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak beberapa dekade yang lalu. Akibatnya, hutan yang awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok kecil kawasan hutan.
          Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai fragmentasi habitat. Sedangkan Salah satu contoh, pendekatan biologi konservasi yang sudah berhasil di lakukan adalah studi kasus penyu laut di Brasil. Berawal dari kegelisahan penurunan populasi penyu laut mencapai 1% dari jumlah semula. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, rusaknya habitat karena pengembangan pantai, penangkapan telur penyu untuk makanan, tersangkut alat penangkap ikan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Brasil merancang program konservasi penyu laut.
          Program konservasi ini merupakan kajian lintas disiplin ilmu. Artinya dalam pelaksanaan program ini, menggunakan berbagai pendekatan bidang. Konservasi penyu laut ini, di awali dengan harus mengetahui habitat. Untuk mengetahui habitat penyu ini, tidaklah mudah karena harus menyusur sepanjang garis pantai Brasil.  Tahun 1980 pemerintah menetapkan  program  konservasi penyu laut, dengan menamakannya “TAMAR”. Untuk mempelancar jalannya program ini, banyak melibatkan berbagai kalangan, akademisi dan penduduk lokal.
          Data awal berupa habitat penyu laut di sepanjang garis pantai Brasil, sangatlah berkontribusi bagi program konsevasi penyu ini. Hal ini dapat diketahui dari pada tahun 1986 penyu laut ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi, serta mendorong pembentukan dua cagar biologi dan taman nasional laut guna untuk melindungi telur-telur penyu. Keuntungan proyek TAMAR, tidak hanya dinikmati oleh penyu laut saja tapi juga penduduk lokal karena sebagian besar pegawai dari proyek ini adalah penduduk lokal setempat. Pegawai proyek ini mendapat gaji dari pemerintah dan industri pariswisata, sehingga kemudian mereka menjadi pembela utam bagi penyu laut.
          Dari contoh di atas menggambarkan betapa pentingya biologi konservasi. Karena biologi konservasi merupakan ilmu terapan yang berasal dari multidisiplin ilmu mengenai pengelolaan sumber  daya alam. Ilmu kehutanan, pertanian, perikanan, dan pengelolaan satwa liar, masuk dalam biologi konservasi.  Bahkan ilmu-ilmu sosial ikut andil dalam biologi konservasi, misalnya; antropologi,sosiologi dan geografi. Dalam penerapanya biologi konservasi memilki tugas merespon, mengelola, keanekargaman hayati di bumi dan bahkan mengembalikan yang telah hilang. Tolok ukur dari suksesnya biologi konservasi adalah ketika yakin dapat menyatakan suatu spesies dan komunitas biologi telah terlindungi dan dapat pulih kembali sesuai lintas disiplin ilmu biologi konservasi.
1.5.       Penyebab Fragmentasi Habitat
          Fragmentasi Habitat adalah sebuah proses perubahan lingkungan yang berperan penting dalam evolusi dan biologi konservasi. Sebagaimana yang tersirat pada namanya, ia mendeskripsikan kemunculan fragmentasi lingkungan pada habitat suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan secara cepat. Proses fragmentasi habitat secara alami diduga merupakan salah satu sebab utama spesiasi, sedangkan proses fragmentasi habitat oleh manusia menyebabkan kepunahan banyak spesies.
          Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan secara cepat. Proses-proses geologi yang dimaksud adalah seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir dan letusan gunung berapi dll, yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya. Sedangkan aktivitas manusia telah terjadi sejak tahun 1950-an, masalah lingkungan telah mendapat perhatian masyarakat pada saat itu, yang dipicu oleh terjadinya pencemaran limbah industri dan pertambangan serta pestisida oleh air raksa (Hg) dan cadmium (Cd) dari limbah industri di Jepang. Pencemaran tersebut telah menyebabkan penyakit minamata akibat mengkonsumsi ikan yang ditangkap diteluk Minamata yang tercemar Hg, dan penyakit ital-ital akibat mengkonsumsi beras dari lahan sawah di Jepang yang tercemar.
Perubahan habitat tidak dapat dihindari, karena tidak ada habitat atau lanskap yang tetap, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kebutuhan lahan untuk menyediakan pemukiman, pertanian, pembangunan sarana jalan dan infrastruktur lainnya. Proses  yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang diakibatkan oleh sebab-sebab antropogenic. Menurut Forman (1995), lanskap berubah melalui lima proses spasial dengan berbagai derajat overlap sepanjang periode perubahan lahan, yaitu:
1.    Perforasi (perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat.
2.    Pemotongan (dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama.
3.    Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.
4.    Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring potongan habitat berlanjut dengan penurunan luas.
5.    Erosi habitat (attrition) adalah proses dimana fragment habitat yang tersisa berangsur hilang, karena degradasi habitat atau suksesi.
                                                                         
                                                                            




 







Gambar 1.1. Perubahan Lahan di dataran jawa tengah

         
          Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan transmisi, sungai dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan satwaliar. Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong habitat (patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek tepi menjadi nyata. Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan berkurang luasnya sampai pada tingkat dimana habitat yang terfragmentasi mulai mendominasi lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana lahan alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di tengah-tengah lanskap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai bagi satwaliar atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar (Hunter, 1997).
          Tahun 1969 masyarakat Amerika telah bereaksi menentang terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrim sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Para aktivis lingkungan menjadi lawan bagi perencana pembangunan pada masa itu. Akhirnya di Amerika muncul AMDAL sebagai syarat mutlak izin mendirikan pembangunan dengan penggunaan teknologi canggih, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penentang atau penghambat pembangunan. Ironisnya karena persyaratan AMDAL cukup berat akhirnya negara maju berupaya memindahkan penanaman modalnya dalam Industri teknologi tinggi ke negara yang sedang berkembang. Negara berkembang memang membutuhkan pembangtunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan belum banyak menyadari kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan tersebut (terutama kerusakan lingkungan Amosfir dan Tanah serta Air).
          Fragmentasi habitat sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti agrikultur dan urbanisasi. Habitat yang sebelumnya terhubung menjadi terbagi menjadi dua fragmen. Setelah pembersihan habitat yang intensif, kedua fragmen yang terpisah tersebut akan terisolasi satu dengan lainnya.

1.6.       Dampak Dari Aktifitas Manusia Terhadap Fragmentasi Habitat
            Ketika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies (Haila, 2002; Fahrig, 2003). Namun, karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan, maka sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat (Haila, 1999). Namun hal tersebut tidak relevan bagi pengelola satwaliar, karena tidak dapat dihindarkan kita berurusan dengan keduanya ketika melakukan upaya konservasi satwaliar di habitat yang
terfragmentasi. Pada skala fragment (patch) hutan individual, hilangnya vegetasi hutan dan fragmentasi dapat memiliki pengaruh luas pada survival populasi, interaksi ekologi, dan keanekaragaman hayati (Fahrig & Grez, 1996). Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah, karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987). Ketika fragment-fragment hutan menjadi terisolasi tanpa adanya ketersambungan di antara mereka, migrasi organisme bisa terhalangi (Kareiva, 1987). Fragment hutan yang kecil juga memiliki ratio edge : interior yang lebih tinggi. Untuk spesies hutan interior, hal ini juga berarti kehilangan habitat lebih luas daripada luas fragment sebenarnya yang hilang (Wilcove et al., 1986; Williams-Linera, 1990). Besarnya pengaruh tergantung pada pola kehilangan hutan pada skala lanskap yang akan menentukan jumlah fragment yang tersisa, ukurannya, bentuknya, jarak antara fragment, dan kondisi matrix habitat di sekitarnya (Groom & Schumaker, 1993).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992), ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal: (1) spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi, (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat,
karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal, (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial, dan (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang
penting, sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hlangnya
spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi.
Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwa liar generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktivitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat, karena fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes, 2000).
Salah satu contoh fragmentasi habitat adalah menurunnya populasi harimau sumatera. Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis. Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau sumatera mati akibat perburuan. Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang sudah dianggap punah.
          Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100 ekor hidup.
          Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33 ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif harimau sumatera diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
          Hasil survey dan monitoring populasi menggunakan kamera inframerah yang dilakukan dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data populasi sebagai berikut :
·         Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor, telah terpotret 44 individu,
·         Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor, telah terpotret 7 individu






















BAB III
PENUTUP

3.1.      Kesimpulan
          Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe land use menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil. Fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada.
          Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwa liar generalis.
          Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong- kantong (patches) habitat asli. Semakin kecil blok terfragmentasi akan semakin berkurang kepadatan populasi dan akan meningkatkan resiko kepunahan. Setelah kepunahan,peluang terjadinya rekolonisasi tergantung pada jarak blok tersebut dengan blok inti serta tergantung pada kualitas habitat disekelilingnya.

3.2. Saran
          Saran yang dapat kami berikan yaitu agar teori atau pemahaman akan Fragmentasi Habitat, bisa membuat pola pikir dan sudut pandang kita kearah masa depan khususnya perubahan tempat di mana habitat itu tinggal perbedaan jenis hewan di suatu daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dan dapat bermanfaat dalam perkuliahan Biogeografi.  





DAFTAR PUSTAKA

Ø Ario, A., S. Sunarto, and J. Sanderson. 2008. Panthera pardus ssp. melas. In: IUCN 2008. 2008 IUCN Red List of Threatened Species. www. iucnredlist.org. Diakses tanggal 13 Januari 2009.
Ø Dunning J.B., B.J. Danielson, and H.R. Pulliam. 1992. Ecological processes that affect populations in complex landscapes. Oikos 65: 169-175.
Ø ESRI. 1998. ArcView GIS. ESRI Press. Redlands, California. 572p.
Ø Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual Reviews of Ecology and Systematics 34: 487-515.
Ø http://www.everythingbio.com/glos/defin ition.php?word=fragmentation.
Ø Forman, R.T.T. and M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley & Sons, New York. 619p.
Ø Gilpin, M.E. 1987. Spatial Structure and Population Vulnerability. In: M.E. Soulé (ed), Viable Population for Conservation. Cambridge University Press, Cambridge. Pp. 125-139.

1 komentar:

  1. penerokaan tanpa fragmentasi tu maksudnya ape? ape beza dengan fragmnetasi dan tanpa fragmentasi?

    BalasHapus